Surutnya Minat Baca dan Menulis di Kalangan Mahasiswa

0
Foto by : Rifai Rahayaan
Foto by : Rifai Rahayaan

Makassar, cakrawalaide.com—Membaca dan menulis ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Jika diibaratkan, membaca dan menulis seperti aktifitas bernafas, berarti menghirup udara sama halnya dengan membaca dan menghembuskan udara sama dengan menulis.

 

Kurangnya minat membaca menjadi masalah serius yang dihadapi bangsa ini. Tak hanya itu, kondisi ini juga berbanding lurus dengan kegiatan tulis menulis yang juga mengalami nasib yang sama. Data UNESCO tahun 2012 menunjukkan, indeks membaca masyarakat Indonesia berada pada angka 0,001 %. Jika disederhanakan, dari 1000 orang hanya 1 orang saja yang rajin membaca.

 

Persoalan inilah yang menjadi topik seminar dan diskusi penulisan yang diselenggrakan Kesatuan Reaksi Intektual Study Club (KRISC) di Aula Hijaz Fakultas hukum Universitas Muslim Indonesia, Senin (03/10) lalu.

 

KRISC adalah salah satu study club yang ada dalam lingkup fakultas hukum. Study club berseragam merah ini menghelat kegiatan ini berdasarkan kenyataan budaya membaca dan menulis yang semakin tergerus di era serba instan.

 

“Membaca dan menulis adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Jika anda tidak membaca maka apa yang akan anda tulis. Kebiasaan membaca sudah menjadi hal yang saya dapat dalam keluarga saya, dari saya kecil waktu mesih menempuh sekolah dasar sampai sampai saya benar-benar dewasa atau menjadi seorang mahasiswa”. Terang Dr. Nurul Qamar dalam seminar itu, yang juga merupakan tenaga pengajar fakultas hukum.

 

Pendapat lain datang dari Ady, mahasiswa Fakultas Hukum UMI yang juga hadir sebagai pembicara dalam seminar itu, menurutnya budaya membaca dan menulis yang mengalami penurunan tak bisa dilihat hanya pada satu faktor saja. Ia menerangkan ada banyak faktor lain yang mendorong situasi ini terjadi.

 

Ady mencontohkan fenomena anti intelktualisme, yang kini mengaut didalam kampus. Dirinya menjelaskankan bahwa fenomena anti intelektualisme yang merupakan sikap yang merendahkan ide, gagasan, sikap reflektif serta menilai sebelah mata teori dan penyampingan terhadap intelektualitas. Fenomena ini tak hanya terjadi di luar kampus, tapi juga sudah merangsek masuk kedalam kampus.

 

Situasi ini terjadi karena diciptakan oleh kampus. Dia mencotohkan salah seorang mahasiswi yang pernah dipanggil wakil dekannya lantaran melakukan demonstrasi.

 

“Setelah dipanggil, mahasiswi tersebut diperingatkan untuk tidak bersikap kritis. Menurut wakil dekan bersangkutan sikap kritis itu tidak baik. Mahasiswi tersebut justru diarahkan untuk kuliah dan mengikuti semua perintah dan peraturan dosen” ungkapnya.

 

Dalam sesi pertanyaan, Irfan salah satu penanya menyampaikan bahwa kampus memiliki posisi penting. Akan tetapi, kampus justru banyak menerbitkan banyak pelarangan yang kadang justru mematikan kreatiitas dan minat membaca.

 

Nawan salah satu mahasiswa UMI yang juga peserta diskusi juga mengutarakan bahwa persoalan membaca dan menulis harus didorong oleh kampus. Justru Jangan membuat kebijakan yang kontraproduktif dengan semangat mahasiswa.

 

Penulis : Cappa

Red : Rifai Rahayaan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *