Sasi, Tradisi Sosial yang Termakan Zaman

0
Upacara pelaksanaan Sasi di Maluku / Foto : Google.com
Upacara pelaksanaan Sasi di Maluku / Foto : Google.com
Peradaban manusia selalu melukiskan pelbagai peristiwa yang menjadi bahan diskursus bagi siapa saja yang merasa berpikir. Hasil dari segala bentuk dialektika manusia yang mencoba menelisik peradaban manusia, entah yang tertulis dalam coretan-coretan buku sejarah, maupun hanya sekedar cerita para tetuah dari mulut ke mulut, nantinya akan memercik nilai sehingga keadaban menjadi bagian dari substansi manusia. Meski sejauh apapun melangkah menuju era globalisasi, namun kebudayaan tetaplah kebudayaan yang sampai saat ini masih eksis dalam dinamika masyarakat Indonesia. Laksana takdir Illahiyah, kebudayaan telah menjadi identitas bangsa yang terkandung begitu dalam, sedalam lautan tanpa dasar.

Argumentasi-argumentasi yang lahir mengenai urgensi kebudayaan sebagai filosofis hidup bangsa Indonesia sesungguhnya sudah sangat tepat. Namun sayangnya, masih sedikit mata yang melihat apalagi menguak nilai-nilai budaya Indonesia secara holistik. Referensi kebudayaan Indonesia masih cenderung dihiasi oleh kebudayaan-kebudayaan dari Indonesia bagian Barat. Tulisan ini mencoba menggali sebuah kebudayaan yang telah terpateri dalam kehidupan masyarakat timur Indonesia, khususnya di masyarakat Maluku.

Konon, ada sebuah sistem hukum adat di Maluku yang tentunya lahir berdasarkan nilai kebudayaan yang ada sejak zaman dahulu kala. Sistem itu di kenal dengan istilah “Sasi”, yakni adat khusus yang menjelaskan cara pengolahan sumber daya alam. Adapun sistem dalam Sasi itu sendiri berupa larangan untuk mengambil hasil sumber daya alam tertentu sebagai bentuk upaya pelestarian demi menjaga kualitas dan populasi sumber daya hayati, baik hewani maupun nabati.

Aturan-aturan dalam melarang mengambil sumber daya alam tidak lahir secara sendirinya, melainkan ada makna makrokosmos dan mikrokosmos yang digagas, yakni menyangkut pengaturan relasi manusia dengan alam semesta dan antar manusia dalam wilayah yang dikenakan sistem Sasi.

Selain itu, Sasi sebagai sistem Hukum Adat juga secara substansi memelihara moralitas masyarakat Maluku dalam kehidupan sosial, seperti pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumber daya alam sekitar kepada seluruh masyarakat secara adil. Dalam praktiknya, Sasi sering digunakan dalam pelarangan mengambil hasil pertanian dan hasil laut. Namun menjadi catatan, bahwa Sasi hanya berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dalam mengelola sumber daya alam yang dimiliki sebagai pengejawantahan dari nilai-nilai kearifan masyarakat.

Untuk dapat ditaati sebagai bagian dari aturan (sistem) adat, Sasi bersifat mistik sehingga masyarakat percaya jika melanggar aturan dalam Sasi tersebut maka akan berdampak buruk bagi siapapun yang melanggarnya. Kesakralan yang dilekatkan dalam Sasi memiliki kesan positif terhadap kestabilan hidup masyarakat sehingga masyarakat mengetahui batasan tentang hak-haknya. Di sisi Lain, Sasi juga memiliki peranan dalam mencegah dan meminimalisir tindakan berbau kriminalitas, mendistribusikan sumberdaya alam secara adil dan merata sehingga berpotensi meredam terpicunya konflik sosial antar masyarakat. Dan pastinya, Sasi juga mampu meningkatkan kesejahteraan karena masyarakat telah memiliki cara tersendiri dalam mengelola sumberdaya alamnya tanpa merusak lingkungan alamsekitar.

Secara umum, Sasi terbagi atas beberapa jenis, Pertama, Sasi Agama, yakni Sasi yang disetujui oleh pihak Masjid, Gereja, atau masyarakat umum. Kedua, Sasi negeri, yakni Sasi yang disetujui oleh pemerintah lokal, seperti Kepala Desa, para Bupati, contohnya untuk mengatasi perselisihan mengenai batas wilayah. Dan Ketiga, Sasi Matakau, yakni jenis Sasi yang biasanya di pasang oleh seseorang untuk melindungi sumber daya alamnya seperti tanaman pertanian dalam batas waktu tertentu. Dan orang-orang yang boleh mengambil hasil sumberdaya alamnya hanya orang atau pihak yang memasang tanda Sasi pada tempat-tempat tertentu, seperti pohon, dan lain-lain.

Namun hingga kini, Sasi sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat Maluku sudah mengalami pergeseran dalam praktik-praktik kemasyarakatan. Ada beberapa alasan mengapa hal tersebut terjadi, seperti kepala desa atau Kewang, yakni orang yang memiliki tugas untuk mendisiplinkan kewenangan atas sumberdaya alam dan wilayah sudah muncul benih-benih apatisme sehingga Sasi sudah jarang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Faktor transmigrasi penduduk secara besar-besaran di wilayah timur Indonesia juga menjadi dalang penyebab praktik  Sasi tidak seideal dulu. Ketidaktahuan masyarakat pendatang terhadap adat dan budaya di Maluku, khususnya Sasi memberi kesan buruk sehingga nilai kesakralan Sasi sebagai bagian dari sistem hukum adat Masyarakat Maluku seakan-akan terkorupsi maknanya. Selain itu, ekspansi besar-besaran koorporasi (perusahaan) di sektor kelautan maupun perkebunan juga turut andil dalam membumi-hanguskan budaya Sasi. Pengambilan lahan masyarakat adat secara paksa  atas nama Negara dan pembangunan menjadi senjata anomaly dalam mengikis secara perlahan-lahan budaya Sasi.

Negara melalui pemerintah seyogyanya memperhatikan masa depan kebudayaan bangsa melalui regulasi-regulasi yang lahir tentunya berbasis kehidupan masyarakat adat, khususnya di Maluku. Tujuh Puluh tahun yang lalu ketika Negara ini belum ada, kebutuhan masyarakat Maluku terkait sistem kehidupan sosial masyarakat sudah mampu dipenuhi oleh tatanan living law (hukum adat) yang lahir berdasarkan kesepakatan bersama, salah satunya pemasangan Sasi. Jika ditelisik detail, sesungguhnya spirit dan karakter masyarakat Indonesia sebagai masyarakat sosialis (Gotong Royong) secara filosofis terkandung dalam budaya Sasi yang kini hampir retak termakan hegemoni kebudayaan global.

Penulis : Uky
Red : IDE

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *