Roem Topatimasang: Sekolah itu Candu

4
Sampul: Buku 'Sekolah itu Candu'
Sampul: Buku ‘Sekolah itu Candu’

Judul : Sekolah itu Candu
Pengarang : Roem Topatimasang
Penerbit :  INSISTPress
Tempat Terbit : Yogyakarta
Tahun Terbit : 2013
Cetakan : ke-12, Mei 2013
Ukuran : 13 x 19 cm
Jumlah Halaman : xvi, 129
ISBN : 979-3457-85-6
Harga : Rp. 35.000,00

Sekolah itu Candu

Paling sedikit dua belas tahun waktu dihabiskan untuk bersekolah. Masa yang lama dan menjemukan jika sekader mengisinya dengan duduk, mencatat, mendengarkan guruh berceramah di depan kelas, dan sesekali bermain. Sekolah memang bisa mencetak seseorang menjadi pejabat, tetapi juga penjahat.

Masikah pantas sekolah mengakui diri sebagai pemeran tunggal yang mencerdaskan dan memanusiakan seseorang?

Pertanyaan sederhana ini dikedepankan kepada mereka yang terutama masih sangat percaya pada keampuhan satu lembaga yang bernama SEKOLAH!

“Jangan sampai putus sekolah, kalau putus sekolah bisa berabe,” demikian ujar Mandra dalam satu periwara televisi nasional ‘Ayo Sekolah’ yang disponsori oleh UNICEF dan Kementrian Pendidikan Nasional.

Demikian pentingya sekolah, sehingga bank pembangunan asia dan bank dunia segera mengucurkan utang baru untuk menjamin anak-anak Indonesia tetap di bangku sekolah ditengah masa krisis beruntun seperti saat ini. Untuk menjamin dana tersebut dapat sampai pada tujuannya, maka jalur birokrasi pun dipangkas, sudah sejak beberapa tahun, anggaran belanja negara untuk sektor pendidikan merupakan primadona. Tetapi, jangan tanya soal kebocorannya. Simak saja laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) setiap tahunnya yang menunjukan bahwah depertemen pendidikan nasional masih tetap merupakan salah satu lembaga pemerintah yang paling korup, banyak yang salah-urus, dan sangat ruwet.

Namun yang lebih penting adalah pertanyaan: apakah tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dapat diraih lewat proses yang dipacu-laju (accelerated) dengan tambahan dana besar tersebut? Pertanyaan kunci adalah: apakah usaha ini merupakan usaha yang layak (benifit of risk)? Apakah program ini akan mampu menghindari bangsa kita dari keterpurukan yang lebih jauh, khususnya ketika pasar bebas mulai diterapkan?

Sistem kurikulum dan sistem manejemen sekolah juga tidak kalah seruhnya, karena hampir setiap kali pergantian mentri,  kebijakan mengalami bongkar pasang. Bukankah bisnis ‘buku pelajaran sekolah’ (‘buku INPRES’) merupakan bisnis yang sangat menguntungkan? Seragam sekolah anak SD pun hampir manjadi objek bisnis ‘kolusi-korupsi-nepotisme’ (KKN). Syukur, media massa cukup tanggap, sehingga proyek itu layu sebelum berkembang. Pendek kata, pendidikan telah menjadi sebuah komoditas.

Ini bermula dari kasus pemecatan Eko Sulistyo, seorang siswa SMA di yogyakarta, ketika anak itu mencoba membuktikan bakatnya dengan cara mencari tahu lewat penelitian yang dirancang dan dilakukannya sendiri  tentang pandangan kaum remaja seusianya mengenai kehidupan seksual. Bukan hanya itu, bahkan beberapa unuversitas secara terang-terangan menolak Eko, justru sebelum ia diberi kesempatan sama sekali untuk mengikuti ujian masuk.

Selama beberapa minggu, koran-koran Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung melaporkan secara eksklusif kasus Eko. Lalu, terjadi banjir surat pembaca dan polemik pun berkembang. Dari semua tanggapan tersebut, terlihat bahwa masyarakat umumnya tidak bisa menerima keputusan pemecatan Eko. Alasan bahwa Eko melakukan penelitian tanpa izin resmi dari sekolahnya dan dari pejabat pendidikan setempat, dianggap sebagai alasan yang dicari-cari dan mengada-ngada, bahkan makin memperlihatkan kelemahan dunia pendidikan nasional yang semakin birokratis dan serba formal, semakin tunduk dan diatur oleh kekuasaan politik, bukan oleh kaidah-kaidah asas ilmiah akademis yang seharusnya.

Ketika anak berbakat itu, dengan nada frustasi, menyatakan diri tak mau sekolah lagi, bahwa sekolah tak memberinya banyak hal yang didambakannya sebagai seorang anak yang memiliki rasa keingintahuan yang besar.

Ketika anak berbakat itu kemudian ternyata tidak benar-benar berhenti bersekolah, dan karena seorang rektor satu perguruan tinggi ternama menjadi tertarik dan bersedia menerimanya sebagai mahasiswa tanpa melaluiu ujian saringan masuk. Serentak mendapat banyak reaksi dari masyarakat. Masyarakat menyatakan dukungan dan menganggap keputusan itu lebih tepat, berani, dan lebih mendidik. Maka kehebohan ini mereda perlahan-lahan kemudian terlupakan orang.

Dalam ulasan lebih lanjut, penulis banyak menyayangkan masyarakat bersikap reaktif saja. Seakan-akan sekolah merupakan dewa yang tidak bisa ditawar lagi. Sebenarnya sekolah bukan satu-satunya alat untuk menuju apa yang kita mau. Sekolah hanya bisa sedikit membantu tentang apa yang kita inginkan. Tetapi masyarakat terlalu heroik seakan sekolah adalah satu-satunya jalan menuju kesuksesan. Jadi, sekolah jua lah yang benar dan kuasa, tak pernah salah dan tak kalah. Adapun yang salah (dan akan selalu dipersalahkan) adalah mereka yang justru gagal menjalaninya, yang ditolak olehnya: mereka lah senyata-nyatanya orang-orang yang kalah!!

Akhhh….  Sekolah sudah menjadi candu, Eko!

Buku dengan bergaya campuran, yaitu menggunakan gaya deskripsi, narasi, dan eksposisi ini sangat menarik untuk dibaca. Buku ini ditulis oleh Roem Topatimasang,  berdasarkan pengalaman, dan berbagai penelitian. Serta banyak reverensi mendukung yang di pakai dalam buku ini. Buku ini menjelaskan asal-mulah sekolah dari zaman Yunani Kuno, hingga sekolah menjadi lahan bisnis seperti sekarang ini. Buku ini memang dapat digolongkan sebagai bacaan subversif, karena jelas-jelas menggugat kemapanan sistem pendidikan yang berlangsung di republik ini sejak lebih dari dua dasawarsa lalu.

Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1998. buku ini digolongkan buku yang laris (best seller), dan sekarang ini adalah cetakan ke-12, dengan beberapa sentuhan baru, mulai dari perubahan sampul sampai tata-letak dan kompugrafi, untuk itu sangat menarik untuk dibaca, dan menjadi rujukan untuk para pencinta buku.

Penulis: Rifai Rahayaan

4 thoughts on “Roem Topatimasang: Sekolah itu Candu

  1. “Sekolah Sebagai Candu” karya yang baik sekali. Terlepas setuju atau tidak masyarakat masih memerlukan sekolah. Ada yg menganggap sekolah sebagai penentu status sosial, status jabatan dan karier di masa mendatang. Sebenarnya sekolah yang terbaik adalah rumah kita sendiri sebagai “Tarbiyatul Aulad”. Dan sekolah sebagai kebutuhan sekunder.

Tinggalkan Balasan ke insistpress penerbit Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *