Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat Tidak Boleh Dipandang Parsial

0
Suasana bazar diskusi yang dilaksanakan oleh PPMI DK Makassar di Warkop 88, Sabtu Malam (19/09) / Foto : Ainil Ma'sura on Facebook
Suasana bazar diskusi yang dilaksanakan oleh PPMI DK Makassar di Warkop 88, Sabtu Malam (19/09) / Foto : Ainil Ma’sura on Facebook

Makassar, Cakrawalaide.com – Ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat masih saja menjadi tugas besar Negara. Banyaknya regulasi yang mengatur mengenai pemenuhan hak berekspresi dan berpendapat warga Negara sebagai bagian dari Hak Sipil Politik masih saja menjadi politik kosmetik, yakni masih belum ada realisasi nyata.

Dalam bazar diskusi yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia DK Makassar, Sabtu Malam (19/09) di Warkop 88 Jalan Saripah, Makassar dengan tema “kebebasan berekspresi dan berpendapat kian terancam” banyak yang menganggap pembungkaman kebebasan berekspresi dan berpendapat tidak hanya terjadi secara parsial dikalangan aktifis Pers Mahasiswa, melainkan pula terjadi sampai menyentuh kalangan masyarakat sipil, seperti kaum buruh, petani, dan rakyat miskin kota.

Hal ini dipaparkan Aktifis LBH Makassar, Moh Ali Rahangiar. Menurutnya, issu mengenai ancaman kebebasan berekspresi dan berpendapat tidak bisa dilihat faktanya dalam tubuh LPM (Lembaga Pers Mahasiswa), seperti pembredelan terbitan, pemutihan organisasi, atau adanya kebijakan DO (Drop Out) ataupun skorsing terhadap mahasiswa.“Ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat sebaiknya tidak boleh dipandang secara parsial dalam ruang lingkup pers mahasiswa, melainkan harus dilihat secara menyeluruh, karena ancaman kebebasan berekspresi dan berpendapat juga menyentuh masyarakat sipil” ujarnya.

Dalam pemaparannya, dia mencontohkan bentuk-bentuk pelanggaran kebebasan berekspresi dan berpendapat yang terjadi di kota Makassar beberapa tahun terakhir. “Seperti kriminalisasi terhadap Bapak Fadli Rahim di Gowa yang dilaporkan ke kepolisian dengan alasan melanggar UU ITE, buruh di KIMA yang dilaporkan sama atasannya dengan kasus yang sama” tambahnya.

Menurut Mantan Sekjen PPMI DK Makassar, Moh. Maulana, kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan kategori HAM yang sangat politis sehingga siapapun yang berada di pangku kekuasaan melihatnya sebagai hambatan dalam kekuasaannya. “Upaya yang dilakukan oleh penguasa adalah menutup keran kritik agar kekuasaannya stabil” ujarnya.

Dia menambahkan, meskipun hak berekspresi dan berpendapat telah dijamin dalam konstitusi dan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, namun politik oligarki yang masih kuat bercokol dalam dinamika perpolitikan nasional dan adanya beberapa regulasi di bawah konstitusi turut andil memperhambat penegakan HAM, khususnya kebebasan berekspresi dan berpendapat. “Ada beberapa aturan yang sampai saat ini masih menjadi benalu yang digunakan oleh penguasa dalam menyumbat keran-keran kritik masyarakat, seperti pasal 27 UU ITE dan Pasal 310 KUHP” tuturnya di sela-sela akhir acara.

Penulis : Ukhay
Red : Yudha

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *