BPJS, Sistem Asuransi Sosial Berwatak Kolonial

0
999978_662956790404059_2132728906_n
Githa Indah Sari, MDP UPPM UMI

cakrawalaide.com — Pasca reformasi IMF menawarkan anjuran liberalisasi disegala bidang dalam proses ekonomi-politik Indonesia. Banyak pasal yang dibuat dalam perubahan kedua UUD yang merupakan agenda tersembunyi dari amandeman UUD 1945, sebagai upaya menciptakan landasan konstitusionalnya. Skenario ini berlanjut dimana Pada tahun 2002, ADB  berdasarkan Laporan dan Rekomendasi Presiden kepada Dewan Direksi pada Usulan Pinjaman untuk Republik Indonesia untuk Kelola Keuangan dan Program Keamanan Reformasi Sosial, mengeluarkan dokumen Technical Assistance to the Republic of Indonesia for Financial Governance and Social Security Reform. Dokumen tersebut mendorong reformasi dalam pengelolaan keuangan negara dan jaminan sosial. ADB memberikan rekomendasi dan arahan bagi pemerintah maupun parlemen, bahkan ADB mengeluarkan dana mencapai kurang lebih US$ 250 juta untuk mendukung lahirnya sistem jaminan sosial nasional di Indonesia, maka pada tahun 2004, lahirlah UU Nomor 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Didalamnya terdapat pasal-pasal yang mengingkari tujuan nasional dalam pembukaan UUD 1945.

Pembukaan UUD 1945 alenia 4 :

“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang  berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebagsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Inti dari Undang-undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional  dan Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah sistem asuransi sosial yang berwatak kolonial, yaitu mewajibkan rakyat  untuk membayar iuran wajib dan mewajibkan pemberi kerja untuk memungut iuran pada pekerja.

Sistem ini dijalankan pemerintah sebagai salah satu mekanisme perlindungan sosial kepada masyarakat sebagai respon atau reaksi atas krisis ekonomi dalam sistem kapitalisme.

Meski asuransi sosial pada awalnya diselenggarakan oleh pemerintah dan diatur melalui undang-undang yang khusus, namun  Ada dua unsur utamanya, yaitu pemungutan biaya dari masyarakat yang menjadi peserta dan penggunaan uang masyarakat untuk kepentingan bisnis atau investasi lainnya.

Terkait dengan krisis yang melanda negara-negara maju saat ini, maka salah satu langkah penting yang tengah diusahakn negara-negara maju adalah memindahkan pasar asuransi ke negara-negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki captive market yang besar. Atas dasar ini maka keberadaan Undang-undang Jaminan Sosial atau sejatinya adalah asuransi sosial memiliki arti penting bagi invasi kapitalisme (imperialisme) lebih jauh dalam perekonomian Indonesia.

Sistem jaminan sosial memang harus ada dalam menjalankan sebuah ketatanegaraan , namun sebagai sebuah Negara yang berorientasi pada kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya  sebagaimana diamanahkan dalam muatan UUD dan Pancasila maka jaminan sosial sebagai sebuah sistem melakukan kesalahan total jika mengarah kepada cara kerja yang liberal. Jika melihat apa yang digagas dalam rancangan undang-undang  hingga pemberlakuannya Pada tanggal 1 Januari 2014 ini Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Badan Pelaksana Jaminan sosial sangat sarat dengan nuansa pengabaian dari tanggungjawab negara.

Berdasarkan konstitusi, seharusnya sistem jaminan kesehatan merupakan kewajiban negara tanpa pandang bulu, sementara UU Sistem Jaminan Sosial Nasional mengharuskan rakyat untuk membayar iuran yang besarannya ditentukan berdasarkan besaran upah tertentu. Selain itu, dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, tidak semua umur dan penyakit ditanggung oleh penyelenggara sistim jaminan sosial, sehingga orang miskin tetap akan terbebani untuk mengeluarkan biaya besar untuk penyakit-penyakit berat yang tidak ditanggung itu.

Ini sejalan dengan pendapat Siti Fadilah Supari , ia menilai, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional  memiliki semangat profit oriented, terutama kalau diserahkan pada perusahan-perusahaan asuransi yang tergiur dengan pangsa pasar Indonesia yang sangat besar, yakni sekitar 230 juta penduduk.

UU Sistem Jaminan Sosial Nasional ini sangat berbeda dengan Jamkesmas. Pendanaan Jamkesmas berasal dari APBN, pelayanannya tidak diskriminatif, dan dapat dipergunakan untuk semua umur dan semua jenis penyakit. Selain itu, dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, tidak semua umur dan penyakit ditanggung oleh penyelenggara sistim jaminan sosial, sehingga orang miskin tetap akan terbebani untuk mengeluarkan biaya besar untuk penyakit-penyakit berat yang tidak ditanggung itu.

UU Sistem Jaminan Sosial Nasional tidak sesuai dengan semangat UUD 1945.

Berdasarkan konstitusi, seharusnya sistim jaminan kesehatan merupakan kewajiban negara tanpa diskriminasi, sementara UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, mengharuskan rakyat untuk membayar iuran yang besarannya ditentukan berdasarkan besaran upah atau nilai nominal tertentu. Selain itu, dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, tidak semua umur dan penyakit ditanggung oleh penyelenggara sistim jaminan sosial, sehingga orang miskin tetap akan terbebani untuk mengeluarkan biaya besar untuk penyakit-penyakit berat yang tidak ditanggung itu.

Masalah Yang Timbul

Jaminan sosial yang seharusnya menjadi tanggungjawab negara untuk penyelenggaraannya telah dialihkan menjadi “tanggungjawab sosial” dengan kewajiban tiap-tiap orang membayar iuran yang besarannya sesuai dengan “manfaat” yang akan diperoleh (layanan kelas 1, kelas 2, dan kelas 3, di Rumah Sakit). Penerima Bantuan Iuran (PBI) bagi masyarakat yang dinilai miskin hanya bersifat sementara dan dapat menjadi lahan korupsi bagi pejabat.  Sebagaimana dijelaskan pemerintah bahwa Penerima Bantuan Iuran untuk tahun 2014 sebanyak 86,7 juta peserta dengan besaran Rp. 19.500,- per jiwa. Untuk itu negara harus mengeluarkan anggaran minimal sebesar 16 triliun rupiah setiap bulan atau sekitar 180 triliun per tahun. Dana dalam jumlah besar itu dapat disalahgunakan oleh pihak BPJS dan pejabat terkait dengan melakukan mark up jumlah orang yang sakit.  Bayangkan, untuk mengawasi kegiatan BPJS yang sangat besar hanya mengandalkan 7 (tujuh) orang pengawas.

Jumlah dana yang akan ditampung dalam BPJS sangat besar dan akan terus menggelembung seiring waktu melalui sumbangan-sumbangan. Dana yang besar tersebut dapat digunakan untuk kegiatan investasi atau keperluan lain yang tidak dijelaskan manfaatnya bagi rakyat pembayar iuran.

Dalam kaitan dengan masalah kesehatan secara umum, dasar dari kebijakan kesehatan saat ini masih bersifat komersil atau mencari laba/profit. Ini terbukti dengan mahalnya harga obat-obatan, biaya rumah sakit, dokter, dan lainnya. Dengan demikian pengeluaran yang sangat besar akan tetap terjadi dan diskriminasi pelayanan atas perbedaan kemampuan ekonomi tetap dipertahankan.

Penulis: Githa Indah Sari
Red: Kambuna

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *