Yang Mulia, Luka itu Tidak Pernah Sembuh

0
Sumber: Historia.id
Sumber: Historia.id

Siapa yang tidak pernah mendengar tentang Tragedi 1965? Semua manusia Indonesia pasti pernah, tapi mereka belum tentu tahu siapakah yang bersalah dalam tragedi tersebut, apa yang sebenarnya terjadi kala itu atau termasuk dalam kategori apakah rangkaian kejahatan yang terjadi pada tahun berdarah itu.

Menurut dakwaan yang didakwakan oleh jaksa pada Pengadilan Rakyat 1965 menyatakan bahwa rangkaian kejahatan di tahun 1965 tersebut merupakan kejahatan internasional dalam bentuk Crimes Against Humanity (Kejahatan terhadap Kemanusiaan).[1] Namun, faktanya banyak sekali yang mengganggap bahwa tragedi tersebut merupakan kejahatan internasional dalam bentuk Genocide (Genosida) dengan dalil bahwa korban pada tragedi tersebut adalah orang-orang PKI saja. Tetapi, pada kenyataannya tidak. Unsur genosida yang tidak terpenuhi adalah usaha pemusnahan suatu golongan melalui serangan-serangan tersebut tidak hanya menimpa mereka yang menjadi anggota PKI saja (tertuju pada satu golongan tertentu) tetapi juga masyarakat sipil lain. Sebut saja para anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) misalnya, wanita-wanita ini mengalami penyiksaan, pelecehan seksual juga penganiayaan.[2] Anggota Pemuda Rakyat (PR), Lembaga Kesenian Rakyat (LKR) dan Barisan Tani Indonesia (BTI) pun mengalami hal yang sama.

Suatu kejahatan dapat disebut Crimes Against Humanity pada saat keseluruhan unsur-unsur dari kejahatan tersebut yang diatur di dalam Pasal 7 Statuta Roma, yang mana pasal tersebut diadopsi oleh Indonesia di UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pasal 9. Kejahatan terhadap Kemanusiaan merupakan salah satu yang perbuatannya dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang ternyata diketahui bahwa rangkaian serangan/perbuatan tersebut ditujukan langsung terhadap penduduk sipil.[3] Perbuatan-perbuatan yang dilakukan dapat berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, penghilagan paksa, apartheid dan lain sebagainya.

Terdapat lima unsur yang harus dipenuhi untuk menyatakan suatu kejahatan disebut dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pertama, terjadinya perbuatan yang disebutkan dalam Pasal 9 baik itu satu perbuatan ataupun lebih dari satu. Kedua, perbuatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari serangan. Ketiga, rangkaian serangan, serangan tersebut haruslah terdiri dari beberapa perbuatan yang berulang-ulang (multiple acts) yang bukan perbuatan tunggal/acak. Keempat, meluas atau sistematik, yang membuat perbedaan suatu kejahatan biasa dengan kejahatan internasional adalah sifatnya yang meluas (berhubungan dengan jumlah korban dan perbuatan) atau sistematik (berhubungan dengan pola yang terorganisir secara menyeluruh). Baik dalam Statuta Roma maupun UU No. 26 tahun 2000 tidak mensyaratkan harus memenuhi unsur meluas dan sistematik, salah satu saja sudah cukup. Dan yang kelima adalah rangkaian serangan tersebut ditujukan kepada penduduk sipil. Dan atas dasar dakwaan yang telah disebutkan di atas, kelima unsur tersebut telah dipenuhi.

Pembunuhan massal yang terjadi pada medio 1965-1966 ini dilakukan terhadap mereka di berbagai titik, tertama di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Sumatera Utara.[4] Mereka yang tewas akibat pembantaian tersebut berkisar 1-1,5 juta jiwa.[5] Yang menarik adalah pembantaian masyarakat sipil yang tidak beradab di Indonesia seolah tak ada dalam catatan resmi bangsa ini.

Berbagai cara diusahakan oleh para aktivis HAM di negeri ini guna meluruskan sejarah dan menuntut keadilan atas pelanggaran HAM yang dilakukan pada masa itu. Contohnya di tahun 2000, Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Ketetapan MPR-RI Nomor V/MPR/2000 menegaskan urgensi dibentuknya sebuah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dilanjutan dengan ditindaklanjutinya amanat dari UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia untuk membentuk Pegadilan HAM yang kemudian diatur di dalam UU No. 26 tahun 2000. Ironisnya harapan para korban juga para anggota korban pelanggaran HAM kala itu harus mengubur harapannya dalam-dalam karena pada tahun 2006, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 006/PUU-IV/2006 UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi membubarkan komisi yang bertujuan untuk mencari kebenaran masa lalu ini.

Pengungkapan sejarah ini menurut hukum internasional merupakan salah satu kewajiban negara yang harus dilaksanakan, sebagaimana dunia internasional sudah mengalami pelajaran sebelumnya di zaman kekejaman Nazi dan rezim Pol Pot di Kamboja. Salah satu cara yang sedang diusahakan oleh para aktivis HAM Indonesia maupun luar negeri atas tragedi ini adalah dengan menggunakan cara International People’s Tribunal (Pengadilan Rakyat Internasional) 1965 yang berlangsung di Den Haag sejak 11 November lalu. Karena sifat dari Kejahatan terhadap Kemanusiaan ini adalah universal jurisdiction (yurisdiksi universal)[6] maka pengadilan di negara mana pun dapat melakukan proses beracara atas kasus ini. IPT ini berbeda dengan tribunal-tribunal (mahkamah internasional yang sifatnya ad hoc) yang dulu pernah diselenggarakan, seperti International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY), International CriminalTribunal for Rwanda (ICTR), Mahkamah Internasional Nuremberg (International Military at Nuremberg) dan Mahkamah Internasional Tokyo (Tokyo Tribunal). Keempat mahkamah internasional di atas merupakan pengadilan yang mengadili kejahatan-kejahatan yang dilakukan pada masa Perang Dunia Kedua usai saat itu.[7] Perbedaan lain adalah setiap putusan yang dikeluarkan oleh keempat pengadilan di atas bersifat final and binding bagi para pelaku, beberapa putusan menyatakan untuk memberikan kompensasi terhadap para korban, walaupun tak jarang ditemukan putusan yang membebaskan para pelaku sehingga seakan-akan pengadilan tersebut hanya memberi keadilan bagi negara pemenang perang (victor’s justice).[8]

IPT 1965 ini diselenggarakan sebagai salah satu sarana untuk mendesak pemerintah Indonesia melakukan mekanisme peradilan formal seperti yang biasa dilakukan apabila ada kasus pidana yang masuk. Hal tersebut guna melakukan proses beracara seperti mencari barang bukti, pemeriksaan atas kasus dan kesaksian para korban, dihadirkannya jaksa penuntut umum dan lain sebagainya. Walaupun putusan yang akan dikeluarkan oleh IPT 1965 ini nantinya tidak mengikat para pihak (final and binding) tetapi setidaknya hasil dari IPT 1965 diharapkan mampu membuktikan bagi pemerintah Indonesia dan masyarakat internasional bahwa memang telah terjadi Kejahatan terhadap Kemanusiaan pada tahun 1965 di Indonesia. Selain itu, melalui hasil pembuktian ini setidaknya para korban di tahun itu mengalami pemulihan diri atas luka yang selama ini diserukan dan dituntut oleh mereka di 419 aksi Kamisan di depan Istana Negara yang mewah itu ternyata benar adanya.

Karena sekian lama kasus ini dibiarkan tanpa adanya pengakuan resmi dari negara, hingga kini ribuan korban masih menanggung derita bahkan stigma negatif dari masyarakat.

Karena tidak ada yang mengaku bersalah atas tragedi berdarah 1965 ini, maka korban selamanya akan menemui kesulitan untuk mengampuni segala perbuatan di kala itu.

 

[1] International People’s Tribunal, The Indictment, hlm. 3

[2]Annie Pohlman, “Woman and The Indonesian Killing 1965-1966: Gender Variables and Possible Directions of Research”, 15th Biennial Conference of Asian Studies Association of Australia, Canberra, 2004.

[3] Lihat Pasal 9 Undang-Undang 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

[4] Manunggal Kusuma Wardaya, Keadilan bagi yang berbeda paham: rekonsiliasi dan keadilan bagi korban tragedi 1965, Mimbar Hukum UGM Volume 22, Nomor 1, hlm. 99.

[5] Robert Cribb, The Indonesian Killing 1965-66, Clayton: Monash University, 1990, hlm.2.

[6] Romli Atmasasmita, Hukum Pidana Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, hlm 10

[7] Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional, Kertas Kerja: Indonesia Menuju Ratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional tahun 2008, Elsam: Jakarta, hlm. 4.

[8] Ibid, hlm. 4

 

 

 

 

 

 

 

 

Debby Kristin
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjajaran

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *