Saat ziarah kubur, perempuan tidak memakai baju, hanya memakai sarung dan menutup kepala. / Foto : Alhasim

Saat ziarah kubur, perempuan tidak memakai baju, hanya memakai sarung dan menutup kepala. / Foto : Alhasim

Makassar, cakrawalaide.com – Kajang adalah sebuah desa yang terdiri dari beberapa dusun, beberapa diantaranya adalah dusun Lurayya yang dapat mengenakan alas kaki untuk berjalan diats tanah juga dibolehkan menggunakan teknologi informasi seperti telepon genggam, kamera, serta mifi,  juga kendaraan boleh masuk dalam daerah ini, Lurayya adalah dusun yang linear dengan dusun Balang Bina, orang menyebutnya kajang dalam karena secara geografis terletak di pelosok desa kajang yang tentunya sangat disiplin terhadap adat kajang itu sendiri, di dusun inilah Ammatoa yang bernama Puto Palasa bertempat tinggal, kami menemuinya dengan berjalan kaki sekitar 2(dua) kilo meter.

Di desa Kajang terdapat tradisi potong kerbau untuk merayakan kematian seseorang, Menurut masyarakat sekitar, Tradisi ini mewajibkan untuk pemimpin (Ammatoa dan Galla-gallanya –Semacam Menteri yang mengatur secara spesifik sebuah tatanan Negara-) memotong 4(empat) ekor Kerbau sedangkan masyarakat lainnya hanya seekor atau bahkan tidak diwajibkan.

Meski masih sangat kecil presentase masyarakat yang memakai telepon genggam tapi kesadaran yang terbangun sangatlah tinggi, setiap memperingati hari kematian, masyarakat sekitar cukup mengundang Ammatoa dan Galla-gallanya (Dalam Struktur Adat Kajang– Pemerintah dan Para Menteri)  untuk hadir duduk menyaksikan orang yang meninggal, setelah itu tak ada lagi undangan ke rumah warga setempat, di hari kematian atau masyarakat sekitar menyebutnya kamateang, tidak disediakan makanan dan minuman bagi para pelayat juga keluarga yang berduka, semua aktivitas minum dan makan berada di bawah rumah, karena mayoritas masyarakat Kajang menggunakan rumah panggung.

Tak hanya itu, hari ke-20 adalah pelepasan bilik rumah sebelah kiri dan kanan sehingga angin leluasa berhembus dalam rumah, pelepasan bilik rumah ini dikerjakan secara gotong royong dengan tetangga terdekat dan tanpa perlu mengundang untuk mengerjakannya.

Tradisi dan kepercayaan yang dianut masyarakat ini sangatlah kental, beberapa larangan yang tidak bisa dilanggar oleh keluarga yang meninggal adalah tidak boleh membawa cabe ke dalam rumah karena masyarakat setempat percaya memakan cabe di dalam rumah akan membuat orang yang meninggal kepedisan di alam kubur, tidak boleh menyapu lantai, hanya boleh menggunakan pakaian untuk membersihkan rumah karena akan membuat badan orang yang meninggal itu bengkak.

Pada malam hari tepatnya pukul 18.00 wita, keluarga yang berduka wajib menjaga tempat pembakaran kecil (Masyarakat sekitar menyebutnya Dupa) dan apinya tidak boleh mati hingga pagi menjelang sekitar pukul 05.00 Wita selama 100 hari, Dupa ini dipercaya sebagai penerang di alam kubur untuk orang yang meninggal.

Tak hanya demikian, pada siang hari, pintu harus terbuka dan keluarga juga wajib berziarah ke makam, pada tanggal 15 April Mutung bergegas ke makam setelah memetikan api dalam Dupa, tepatnya pukul 05.00 Wita, dalam penuturannya yang menggunakan bahasa daerahnya yang mirip dengan bahasa keseharian masyarakat Jeneponto, Mutung mengatakan yang artinya, “Di Kajang sendiri makam dikunjungi sebanyak 3 kali sehari, pagi jam 05.00 Wita, Siang jam 12.00 Wita dan sore pukul 17.00 Wita. Makam ini dikunjungi selama 100 hari dengan menjaga dupa setiap malamnya,” tuturnya dengan hanya mengenakan sarung hitam dalam rumah pertanda keluarga sedang berduka.

Rupanya sangat mudah menandai orang yang sedang berduka di Kajang karena mereka akan identik dengan hanya mengenakan sarung hitam oleh warga setempat menyebutnya Ikkarambi (melilitkan sarung pada badan dan diikat pada dada), juga ketika keluar rumah mereka akan A’bohong (Yakni melilitkan sarung di kepala pada dasarnya seperti orang yang memakai kudung).

Hari kematian dalam  suku Kajang di peringati selama 100 hari dengan secara spesifik menjelaskan hari-hari tertentu seperti :

– Peringatan hari pertama atau di sebut juga hari kamateang, yakni Keluarga orang yang meninggal (Almarhum) mendatangi rumah Ammatoa dan rumah seluruh Galla untuk diundang ke rumah orang yang meninggal (Appisse’), undangan ini secara lisan, dan Ammatoa beserta Galla datang ke rumah dan diarahkan duduk berjejer, di atas rumah tidak ada aktivitas makan ataupun minum, hal ini sebagai bentuk duka cita sedalam-dalamnya.

-Peringatan hari ketiga di sebut Appasili,  yang artinya didinginkan –dibaca- semua alat-alat yang pernah almarhum gunakan dibersihkan supaya orang sosok almarhum tidak terbayang lagi dalam rumah. Segala barang milik almarhum diambil, dikumpul, dan dipercik-percik daun khas Kajang, yakni daun dinging-dinging. Sebagai contoh kasur yang pernah dipakai tidur oleh almarhum, oleh keluarga  dicuci di sungai dan dibawa pulang namun adapula yang sekaligus menghanyutkannya.

-Peringatan hari kelima disebut hari Sa’la, makanan disajikan dan didoakan, masyarakat sekitar menyebutnya dibaca-bacai dan keluarga terdekatpun berkumpul dalam rumah tersebut.

-Peringatan hari ke 10 di sebut Nialle Banngina, Tetangga atau orang-orang sekitar  membawa makanan ke rumah duka, tak lupa pula permainan seruling (Masyarakat sekitar lebih akrab dengan istilah Basing) dipakai sebagai pengiring kesedihan.

-Peringatan hari ke 100, dilakukan dengan pemotongan kerbau, Pemotongan seekor kerbau disebut Nilajo-lajo dan Pemotongan 2(dua) ekor kerbau disebut Nidampo’, juga tersedia makanan seperti songkolo, kue Merah (biasa disebut Dumpi Eja), Ruhu’-ruhu’(Masarakat sekitar menyebutnya bannang- bannang),   Ammatoa dengan Gallanya diundang dihari ke 100 ini.

Penulis : Icha

Editor  : Nursaid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *