Membeli Strata Sosial Dengan “Batu”

0
*Oleh: Arham Diandika
Seolah meresa teraleanasi dengan lingkungan sosial yang terus saja berceloteh tentang batu, saya  kemuadian tertarik untuk melihat lebih jauh kenapa kemudian orang-orang terus saja berceloteh  tentang batu. Kita dapat saksikan jejeran penjual batu jadi yang sedia dengan ikatan cicinnya sampai pada batu yang masih berbentuk bongkahan membuat trotoar-trotoar jalan raya menjadi pasar dadakan yang ramai dengan pengunjung. Berbisnis batu saat ini, memang merupakan salah satu peluang usaha yang menjanjikan dikarenakan batu telah menjadi salah satu gaya hidup yang menyentuh seluruh kalangan. Di tempat nongkrong bahkan didalam ruang kuliah sekalipun orang-orang selalu bercerita tentang batu dan batu. Mulai dari batu akik yang ada di ujung pulau Sumatra sampai pada batu bacan yang ada di Maluku.
Seolah kembali ke  “zaman batu”, kalimat ini mungkin kalimat yang pas untuk mengungkapkan fenomena yang terjadi saat ini. Bahkan, dimedia  elektronik maupun media cetak, bahasan tentang batu dapat menaikkan rating maupun jualan eksamplar koran tiap harinya. Isu nasional maupun isu regional yang ada tergantikan oleh celoteh tentang batu.
Jika melihat sejarah tentang batu, jejak manusia terhadap batu dapat menjadi penanda evolusi kebudayaan manusia. Pada fase awal atau zaman batu tua, sekitar 2,6 juta tahun yang lalu yang juga disebut dengan zaman paleolitikum dimana manusia masih berburu dan meramu batu kemudian dijadikan palu atau pisau yang diperoleh dari alam. Kemudian sampai pada zaman batu pertengahan, ketika ditemukannya perunggu dan logam, alat yeng menggunakan batuan alam pun digantikan dengan logam yang lebih kuat.
Sampai pada zaman megalitikum, pada era ini, batu tidak lagi dihargai karena fungsinya sebagai alat bantu, tetapi karena “nilai”-nya sebagai penopang ritual, sarana penguburan, bahkan sebagian kebudayaan melekatkan sifat-sifat keilahian dalam batuan ini. Biasanya, batu-batu besar ini diukir menjadi figur tertentu (Mohen, J P, 1999 dalam Megalithic: Stones of Memory).
Di Indonesia, tradisi megalitikum tersebar luas sebelum masa Hindhu-Budha, bahkan pada masa sekarang, tradisi ini masih dipertahankan dalam bentuk aslinya  oleh beberapa suku seperti Nias, Batak, Sumba, dan Toraja.
Sejak dahulu ,batu mulia seperti zamrud, ruby , safir dan berlian memang menjadi symbol strata sosial. seperti di Yunani dan Mesir kuno, para raja berlomba-lomba menyematkan batuan mulia ke dalam mahkotanya. Hingga memasuki era postmodern seperti sekarang ini, mengapa orang-orang masih terus mendengungkan tentang batu?
Tak bisa dipungkiri bahwa batu memiliki daya tarik tersendiri yang menjadikan orang terus saja memburunya. Di balik sebuah batu ada prestise, ada symbol juga strata sosial  yang diperjual belikan, semakin indah dan semakin sulit batu ditemukan maka harga yang ditawarkan semakin tinggi yang menjadikan orang  yang memakainya secara tidak langsung akan menyimbolkan kediriannya.
Di dalam era post modern, ada berbagai perkembangan utama di dalam dunia social yang mempengaruhi relasi diantara kelompok-kelompok gaya hidup, dan bagaimana relasi ini diaktualisasikan  melalui dunia objek, citra dan tanda-tanda (Yasraf Amir Piliang, 2004 dalam Dunia yang Dilipat hlm: 326)
Jika melihat lebih jauh tentang gaya hidup dalam batu yang mencuat beberapa tahun terakhir, yang kita dapati hanyalah kekosongan. Batu menjadikan orang apatis dengan kehidupan sekitar, orang lebih memilih untuk membeli batu yang dihargai ratusan ribu sampai ratusan juta rupiah ketimbang menggunakan uang tersebut untuk kemanusiaan.  Sekali lagi selamat datang kembali ke “zaman batu”.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *