lawarMakassar, cakrawalaide.com — Setelah mahasiswa sastra melakukan aksi pada Jumat (10/10) lalu, karena menuntut pencabutan SK Dekan yang melegitimasi diskorsingnya dua orang mahasiswa. Pada Senin, (13/10) pimpinan fakultas sastra dalam hal ini adalah Dekan Sastra Dra. Hj. Muli Umiaty Noer, M.Hum, dan Wakil Dekan III Drs. Abdullah, MM. M.Pd melakukan rapat senat dengan mahasiswa, yang mencoba mendengar aspirasi sekaligus menyampaikan alasan birokrat sastra melakukan skorsing terhadap dua mahasiswa sastra, Syaiful Ahmad dan Tri Kuntoro.

Skorsing yang dikeluarkan birokrasi atas dasar tuduhan tindak kekerasan lembaga kemahasiswaan terhadap mahasiswa baru di Tanjung Bayang. Namun menurut mahasiswa sastra bahwa mereka melakukan kegiatan yang bermanfaat berupa latihan dasar kepemimpinan. Alasan bahwa kegiatan akademik yang belum berjalan normal, membuat pengurus Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris mengadakan kegiatan pelatihan ini diluar fakultas.

Dalam rapat senat tersebut, terdapat beberapa perbedaan paham antara mahasiswa dan birokrasi sastra. Yaitu mahasiswa menginginkan agar surat keputusan skorsing yang dikeluarkan dekan harusnya diketahui apa alasannya. Mahasiswa menganggap bahwa surat skorsing keluar karena tuduhan yang tidak dapat dibuktikan oleh birokrasi fakultas sastra, “kita mendesak agar mereka (birokrasi, red) memakai mekanisme atau prosedur yang baik. Seperti menghadirkan saksi dan bukti apa yang mendasari tuduhan-tuduhan mereka terhadap kami, tapi pihak fakultas tidak mau melakukan itu” Ujar Yahya

Satu Lagi Mahasiswa di Skorsing

Selain dua mahasiswa yang di skorsing melalui   mahasiswa kembali dikejutkan dengan dikeluarkannya keputusan dekan yang menskorsing satu mahasiswa lagi yaitu Illa, Mahasiswa Sastra Inggris angkatan 2011, alasan birokrasi mengeluarkan keputusan skorsing untuk Illa adalah karena menganggap bahwa Illa melakukan tindakan provokasi terhadap mahasiswa baru, yang menurut Wakil Dekan III adalah mempertontonkan kepada mahasiswa baru film April Makassar Berdarah (AMARAH – Tragedi pelanggaran HAM tentara terhadap mahasiswa UMI tahun 1996).

Rekan-rekan Illa di jurusan komunikasi membatah hal itu, menurut mereka bukan film AMARAH yang dipertontonkan namun film laga Hollywood yang nantinya akan mereka bedah.

“kemarin bukan film AMARAH tapi film lain yang nantinya akan kita bedah, awalnya kami memutar film laga itu, namun karena durasi yang lama dan telah mendapat teguran dari penjaga fakultas, maka filmya kami ganti dengan film dokumenter karya mahasiswa tentang aksi-aksi menjelang Hari AMARAH (yang biasa diperingati tanggal 24 April setiap tahun oleh mahasiswa UMI)” ujarnya, lagi-lagi birokrasi sastra tak objektif dalam mengeluarkan keputusan.

Ali Asrawi salah satu mahasiswa dari Fakultas Hukum angkatan 2012 mengatakan, walaupun pemutaran film AMARAH atau tidak, tak ada kesalahan dari kegiatan itu. “Cuma gelagat birokrasi saja yang mau membuat mahasiswa tak merdeka” ujarnya

Indikasi Pembekuan Lembaga

Keputusan sepihak dekan sastra, menjadikan beragam asumsi dikalangan mahasiswa, mahasiswa menganggap ini adalah langkah perlahan birokrasi kampus untuk membekukan aktivitas mahasiswa dalam berlembaga. Pasalnya selain keputusan sepihak dan prematur. Adanya tuduhan – tuduhan lain yang dipaksakan masuk, misalnya seperti tuduhan pungutan liar terhadap maba.

Namun menurut Gunawan mahasisw Fakultas Sastra, pungutan tersebut memang ada namun karena mendapatkan teguran lisan dari fakultas, mahasiswa kemudian mengembalikan uang tersebut ke maba. Tapi hal ini tetap dijadikan pelanggaran.

Beberapa tuduhan yang dipaksakan tersebut dan genjar dalam seminggu ini, menurut mahasiswa merupakan gelagat birokrasi untuk membekukan aktivitas mahasiswa dalam berlembaga dan membuat opini yang jelek terhadap eksistensi lembaga kemahasiswaan.

Penulis: Ayi
Red: Her

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *