Film Uang Panai, Membungkus Kritik Sosial Lewat Komedi Romantis

0
Uang Panai. /Sumber : www.google.com
Uang Panai. /Sumber : www.google.com

“Kebahagiaan itu dibangun dari keputusan yang dibuat secara bersama-sama, bukan dari materi apalagi gengsi.”

Film adalah salah satu hiburan yang banyak diminati oleh banyak orang. Cara menikmatinya pun cukup mudah dan beragam cara, bisa dengan menonton televisi di rumah kita yang setiap harinya menayangkan puluhan film baik produksi dalam negeri maupun luar negeri atau dengan membeli DVD yang terjual banyak di pasaran, juga dengan memanfaatkan teknologi internet  di PC, Laptop, serta Smartphone.

Mengunjungi bioskop juga alternatif cara yang digunakan banyak orang untuk lebih menikmati sebuah film, tentunya dengan suasana yang jauh berbeda ketika anda menyaksikan tayangan ini di rumah sendiri. Mata anda akan puas memandang layar besar dihadapan anda, kualitas gambar yang maksimal serta suara yang juga akan memanjakan telinga anda. Ditambah lagi, anda tidak akan sendirian, akan banyak orang yang juga menyaksikan film sehingga suasana menjadi semakin meriah.

Film Uang Panai adalah salah satu film yang ditunggu banyak pecinta film, terutama masyarakat kota Makassar. Film yang rilis tanggal 25 agustus 2016 ini merupakan salah satu film yang menambatkan ide dari kenyataan-kenyataan maupun cerita masyarakat Sulawesi Selatan terutama Masyarakat Bugis Makassar.

Sebenarnya ini bukanlah hal yang pertama, ada beberapa film sebelumnya yang telah menembus bioskop diberbagai kota, seperti Film Parakang, Bombe dan Dumba-dumba adalah beberapa diantaranya.

Film kategori komedi romantis ini adalah karya dua Sutradara yakni Halim Gani dan Amirl Nuryan yang diproduksi oleh Makkit Cinema Production.

Uang panai adalah salah satu syarat dalam tradisi suku Bugis Makassar jika ingin menikah dengan anak perempuan. Dia menjadi syarat yang harus dipenuhi calon mempelai pria untuk mempersunting  si wanitanya. Biasanya uang panai diberikan calon mempelai kepada pihak calon mempelai perempuan untuk keperluan mengadakan pesta atau uang belanja untuk pernikahan.

Dalam film ini, uang panai menjadi masalah utama dimana untuk melamar kekasihnya, Anca, pemeran utama lelaki dalam film ini harus bekerja keras untuk mendapatkan uang panai yang telah ditentukan oleh keluarga calon mempelai wanita untuk dapat mempersunting anaknya. Hubungan Anca dan Risna yang juga pemeran utama perempuan yang sebelumnya sempat putus kembali terajut setelah keduanya bertemu kembali. Dalam perjalanan hubungan asmara keduanya, Risna meminta agar Anca segera melamarnya untuk dijadikan istri. Setelah membicarakan permintaan Risna dengan kedua orang tuanya, Anca kemudian sebagai keturunan Bugis Makassar harus Ma’Manu-Manu.

Ma’ Manu-Manu sendiri ialah penyelidikan secara diam-diam oleh pihak laki-laki untuk mengetahui latar belakang keluarga si perempuan, juga bertemu dengan kedua orang tua perempuan sebagai tanda keseriusan. Setelah Ma’Manu-Manu selesai, biasanya kedua keluarga akan menentukan waktu untuk bertemu lebih serius sekaligus untuk menentukan besaran uang panai.

Setelah pihak laki-laki bertemu dengan pihak perempuan dan telah menyepakati besaran uang panai. Uang panai yang sangat tinggi menjadi tantangan bagi Anca, terlebih uang yang dikumpulkannya dari gaji bekerja tak cukup untuk memenuhi permintaan pihak perempuan. Atas dasar ini, Anca melakukan banyak hal untuk mengumpulkan uang agar segera bisa menikahi gadis pujaannya. Untuk mengumpulkan uang sebanyak itu, ia dibantu oleh dua sahabat karibnya Tumming dan Abu.

Karena Uang panai Anca belum terkumpul juga, orang tua Risna berencana menjodohkan Risna dengan anak orang kaya teman ayah Risna dan anaknya juga adalah sahabat karib Risna, Risna kemudian meminta Anca agar membawa lari dirinya atau dalam tradisi Makassar disebut Silariang. Akan tetapi, rencana tersebut dijegat oleh kedua orang tua Risna, mereka membawa Risna pulang karena akan membuat malu keluarga.

Silariang atau membawa pergi anak perempuan  jauh dari keluarganya dengan persetujuan perempuan itu sendiri adalah tradisi yang terjadi tidak hanya pada suku Makassar. Namun, Dalam tradisi suku Makassar, Laki-Laki yang membawa pergi anak perempuan bisa diganjar dengan nyawa karena ini dipandang sebagai aib bagi keluarga perempuan dan juga Laki-laki.

Setelah menempuh banyak cara dan perjuangan, akhirnya uang panai terkumpul. Akan tetapi, ayah Risna yang memiliki banyak hutang ditangkap preman yang menagih hutang ayah Risna, Anca kemudian menyerahkan uang yang ia kumpul untuk uang panai kemudian ia serahkan ke preman sebagai bayaran untuk hutang ayah Risna.

Setelah peristiwa tersebut, kedua orang tua Risna mau menerima Anca sebagai calon menantu walau tanpa ada uang panai. Bagi orang tua Risna, Anca telah membuktikan perkataanya untuk mengumpulkan uang panai serta bertanggung jawab atas apa yang telah ia ucapkan sebelumnya.

Dalam adegan film ini, digambarkan bagaimana uang panai telah menjadi masalah sosial dalam kehidupan masyarakat terutama dalam masyarakat bugis Makassar. Uang panai yang terlalu tinggi malah mengakibatkan banyak perempuan dan laki-laki menjadi perawan tua dan perjaka tua serta maraknya orang yang silariang.

Pesan agama juga hadir didalam film ini, menikahkan anak itu ibadah, Telah menjadi kewajiban orang tua untuk menikahkan anaknya. Uang panai yang terlalu tinggi bisa menjadikan orang tua menghalang-halangi atau tidak melaksanakan kewajibannya.

Pernikahan dalam Islam adalah kewajiban, tak ada anjuran uang panai didalam Islam untuk menikahkan dua orang insan yang saling mencintai. Yang wajib dalam Islam itu mahar bukan uang panai. Mahar adalah materi yang diberikan laki-laki kepada perempuan sebagai simbol kesediaan perempuan menjadi istri. Bisa berupa emas, perak, uang kertas, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Dalam Islam mahar itu adalah hak seorang Istri. Akan tetapi, mahar harusnya didasari kemudahan serta kesiapan kedua belah pihak.

Menariknya, film ini selain menjadi kritik sosial, juga menjadi tontonan yang sangat menghibur. Unsur komedi begitu kental sepanjang film ini, istilah-istilah lucu masyarakat Makassar serta istilah- istilah baru yanh menjadikan film ini begitu segar, menghibur serta memiliki pesan sosial. Bagian-bagian lucu dalam film ini tak bisa dilepaskan dari sosok Tumming dan Abu yang terkenal lucu oleh masyarakat Makassar.

Namun, beberapa potongan adegan dari film ini menurut penulis masih kurang apik karena masih harus mengakomodir sponsor yang juga harus muncul dalam adegan film ini.

Penulis : Ady Anugrah Rasyak

Red : Israwati Nursaid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *